dari Iseng, Ryo Kini Juragan Distro Beromzet Miliaran..hummm

KOMPAS.com — Usia muda bukan berarti tak bisa mencapai kesuksesan. Kusdarmawan Aryo Baskoro membuktikan, di usianya yang masih muda, 28 tahun, dia mampu meraup omzet miliaran rupiah setahun dari usaha distro yang dirintisnya di Solo.

Kata distro alias distribution outlet tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Toko pakaian jenis ini masih eksis hingga sekarang lantaran masih menjadi kiblat fashion anak muda di hampir semua kota besar. Bahkan, tidak sedikit anak muda yang sukses menjadi juragan distro ini, salah satunya adalah Kusdarmawan Aryo Baskoro.

Mengusung nama perusahaan Rawn Divisions, semua merek yang diproduksi oleh pria yang akrab dipanggil Ryo ini dilabeli dengan nama Rown. Nama ini merupakan kependekan dari Ryo Owner atau bisa juga diartikan tapak alias jejak kaki. “Harapan saya, produk bisnis yang saya bangun ini bisa menapak di mana-mana,” ujar pemuda kelahiran Surakarta, 9 November 1984, yang boleh dibilang sukses menjadi juragan distro di kotanya itu.

Ryo menjual berbagai produk fashion seperti halnya distro lain. Misalnya, t-shirt, kemeja, celana jins, sepatu, dan berbagai aksesori, seperti topi dan stiker. Ia juga membawa Rown tidak hanya menyasar anak muda, tetapi juga segmen anak-anak hingga orang tua. “Tapi, kami lebih dominan membidik pasar anak muda,” ungkapnya kepada Kontan.

Usaha distro yang dibangun pemuda usia 28 tahun ini kini memiliki omzet usaha hingga miliaran rupiah. Dalam sebulan, Ryo mampu memproduksi 3.000 hingga 4.000 kemeja, 2.000 pasang sepatu, 3.000 potong celana jins, dan yang terbanyak adalah sekitar 25.000 potong kaus. Setiap satu desain hanya diproduksi 30 potong.

Saat ini, Ryo memang hanya memiliki dua gerai, yaitu di Karanganyar dan Surakarta. Tetapi, dia bermitra dengan banyak distro di beberapa kota untuk memasok produknya. “Produk saya sudah menyebar dari Aceh hingga Papua,” kata Ryo, yang berencana membuka cabang di Pontianak lantaran ada investor yang berminat bekerja sama.

Dua tahun terakhir, merek Rown bahkan sudah masuk pasar Malaysia dan Singapura. Tak lama lagi, produknya akan juga bakal dikirim ke Kanada. “Kalau soal omzet yang pasti terjual lumayan hingga ribuan pieces dengan rentang harga mulai dari Rp 20.000 sampai Rp 800.000,” ujar bungsu dari dua bersaudara ini.

Buah dari keisengan

Semangat bisnis Ryo sebetulnya sudah muncul sejak berada di kelas III sekolah dasar. “Saya jualan gorengan dan kacang di sekolah, semuanya mama yang bikin. Upahnya lumayan buat ditabung,” kenangnya sambil terkekeh. Jualan gorengan ia lakoni hingga duduk di bangku SMP. Ketika SMA, dia sudah dapat membuat desain dan sablon di kain sarung pantai.

Ryo mulai merintis usaha distro saat kuliah. Awal usaha ini sebenarnya bukan berangkat dari kesengajaan. Ketika masuk kuliah pada tahun 2003, dia membangun usaha patungan bersama temannya dengan memasarkan produk fashion bermerek Ankles. Targetnya adalah anggota komunitasskateboard.

Sayang, usaha itu bubar. Ryo tak lantas putus asa. Iseng-iseng dia mendesain sebuah t-shirt. Tak disangka, banyak yang meminati desainnya itu. Permintaan pun terus berdatangan. Pada tahun 2006, merek Rown lahir dengan modal awal Rp 30 juta.

Awal berdiri, Ryo hanya memiliki tiga karyawan. Ia juga menyewa gerai seluas 3 meter x 10 meter. Lambat laun, dari yang semula memproduksi puluhan kaus, permintaan bertambah menjadi ratusan bahkan hingga kini mencapai ribuan potong.

Pada 2008, Ryo mulai mengembangkan usahanya. Ia mendapat pinjaman dari bank. “Saya meminjam Rp 100 juta untuk pengembangan usaha. Sekarang, aset saya sudah miliaran,” ungkapnya tanpa mau menyebut detail berapa besar.

Ryo juga terus menambah karyawan, dari semula tiga desainer, kini ia memiliki lima desainer dan total karyawan mencapai 40 orang. Gerai yang semula seukuran “kamar” sudah meluas menjadi 360 meter persegi. “Saya sudah membuat jenjang karier bagi para karyawan. Namun, yang langsung melayani pembeli saya bayar secara harian,” cerita lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret ini.

Dalam memasarkan produknya, Ryo memakai berbagai cara jitu, di antaranya menjadi sponsor di beberapa acara anak muda seperti pentas band. Untuk hal itu, dia juga pernah menjadi sponsor band Efek Rumah Kaca, MTV Ampuh, MTV 100%, dan berbagai film televisi (FTV). “Saya pantang jualan produk rejected,” katanya.

Ryo tak lantas puas dengan hasil kerjanya. Ia menggunakan uang hasil keuntungan untuk memperluas bisnis. “Saya berencana membuat produk jam tangan dengan merek Rown dan membuat sistem semi-waralaba buat usaha ini,” ujarnya.

Ryo bilang, saat pesanan mulai banyak, dia masih menghadapi kendala, khususnya dalam infrastruktur pengiriman. “Jika ada permintaan dari luar negeri, pengiriman sering terhambat,” ujarnya. Ia berharap proses pengiriman bisa lebih cepat. (Cheppy A Muchlis/Kontan)

Dulu Kuli, Tukang Sapu, Kini Tri Pengusaha Sukses

KOMPAS.com — Pernah menjadi kuli dan tukang sapu, Tri Sumono kini pengusaha sukses dengan omzet ratusan juta. Ia mengawali langkahnya di dunia usaha dengan menjadi pedagang aksesori kaki lima. Ulet dan tekun membuat usahanya terus berkembang.

Pepatah lama yang menyatakan “hidup seperti roda berputar” tampaknya berlaku bagi Tri Sumono. Berawal dari menjadi kuli bangunan hingga tukang sapu, kini Tri sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah per bulan.

Lewat perusahaan CV 3 Jaya, Tri Sumono mengelola banyak cabang usaha, antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadifranchise produk Ice Cream Campina. “Saya juga aktif jual beli properti,” katanya.

Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria kelahiran Gunung Kidul, 7 Mei 1973, ini mengaku tak pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang.

Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.

Ia nekat mengadu nasib ke Ibu Kota dengan hanya membawa tas berisi kaus dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan.

Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya. Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran menjadi tukang sapu di kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta Barat.

Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diambilnya. “Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan,” jelasnya.

Lantaran kinerjanya memuaskan, kariernya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, kariernya kembali menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.

Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan berjualan aksesori di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Selama empat tahun Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu, tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin kuat. “Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung, dan gelang dengan modal Rp 100.000,” jelasnya.

Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak.

Dari sanalah ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, pada  tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus untuk berjualan.

Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. “Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam,” ujarnya.

Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.

Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Ia pun merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya semakin kuat.

Saat itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang bisnis ini lumayan menjanjikan karena, ke depan, daerah tempatnya bermukim itu bakal berkembang dan ramai. “Tapi tahun 1999, waktu saya buka toko sembako itu masih sepi,” ujarnya.

Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia kemudian membangun sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan gorengan.

Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu juga menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. “Cara itu ampuh dan banyak warga di luar Pondok Ungu mulai mengenal toko kami,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium.

Untuk keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. “Tahap awal saya membuat 200 nampan sari kelapa,” ujarnya.

Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tetapi, itu tidak lama. Lantaran kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun berhenti memproduksi dan memutuskan untuk belajar lagi.

Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. “Tanpa sekolah, kamu sulit menjadi produsen sari kelapa,” kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.

Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan. Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun melanjutkan kembali produksi sari kelapanya.

Saat itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju. (Fahriyadi/Kontan)
(bersambung)

Dari Buruh Menjadi Bupati, dalam kurun 10 Tahun

Dari Buruh Menjadi Bupati, dalam kurun 10 Tahun (ya bisa, INI FAKTA)

Kisah Sukses Rusdi Masse

alt

Tak banyak yang tahu jika Rusdi Masse, saat ini menjabat sebagai Bupati Sidrap, ternyata pernah menjadi buruh dan sopir truk.

Karena kerja kerasnya, semua impiannya tercapai, yakni hingga ia memiliki usaha besar seperti ekspedisi kapal kargo, hingga akhirnya menjadi seorang bupati di kampungnya, Sidrap.

Rusdi sebagai tokoh inspiratif, bagaimana dirinya mengabdikan diri sebagai seorang buruh hingga menjadi pengusaha dan pejabat daerah hanya dalam tempo 10 tahun.

Cerita sukses Rusdi, yang kini dipercaya menjadi Ketua DPD Partai Golkar Sidrap, membuat seisi ruangan terkesima. Rusdi Masse berpendapat, hanya kerja keras dan impian yang kuat yang akan mampu mengubah hidup seseorang. Dan itu sudah TERBUKTI.

Rusdi Masse belasan tahun yang lalu, hanya merupakan sosok pemuda desa asal Sidrap yang biasa saja, bahkan terkesan ketinggalan zaman, karena penampilan yang KUMAL dan tak punya apa-apa.

“Hanya bermodalkan uang Rp75 ribu, saya pergi kerja di Jakarta. Naik kapal dengan baju tiga lembar. Orang yang pertama melihat saya di Jakarta itu Pak Sadikin Aksa (anak kandung pendiri Bosowa Grup, Aksa Mahmud). Waktu itu saya bekerja sebagai tukang susun mobil,” katanya mengawali cerita.

Dengan bekerja sebagai buruh yang bertugas menyusun kendaraan yang akan dikirim ke sejumlah penjuru negeri, dia mengaku hanya diupah Rp100 ribu dengan intensif Rp1.000 per unit kendaraan.

Ketika itu, katanya, Kalla Lines memang mempercayakan perusahaan Bosowa, tempatnya bekerja, untuk mengangkut kendaraan ke seluruh daerah.

Dalam pikiran Rusdi, Indonesia ini adalah negara kepulauan. Pemakai kendaraan terbanyak di seluruh dunia terutama sepeda motor.

“Kondisi ini yang akhirnya mendorong saya mengambil keputusan untuk membeli kapal. Utamanya kapal yang khusus mengangkut sepeda motor,” urainya.

Rusdi lalu meminta bantuan pinjaman ke Sadikin Aksa untuk pengadaan kapal. Namun, Sadikin hanya mereferensikan untuk meminjam modal di Bank Kesawan. Dengan modal tersebut, dia akhirnya memesan kapal di PT IKI (Industri Kapal Indonesia) Makassar.

“Saya lalu mengundang diler motor untuk persentasi konsep pengiriman kapal ke mereka. Dua hari setelah persentasi, kapal datang dan saya yakin mereka akan memesan langsung,” katanya.

Bahkan, lanjutnya, beberapa dealer motor di Jakarta berebut untuk menggunakan kapal angkutan kendaraan miliknya itu.
“Pengiriman pertama, saya ingat keuntungan 92 unit mobil mencapai Rp45 juta pada tahun 1997. Sampai hari ini kita masih tetap kerja di unit bosowa,” ungkapnya.

Gayung bersambut, usaha Rusdi membuahkan hasil yang lumayan, sehingga dia meminta tambahan ke Bank Kesawan untuk modal membeli kapal lagi dan terus berlanjut seiring dengan majunya usaha yang dia rintis. “Akhirnya saya sudah memiliki 20 unit kapal sekarang,” sebutnya.

Keyakinan yang melekat dalam diri Rusdi Masse pada saat itu adalah keberanian dan mampu memegang kepercayaan. “Selain keberanian, hal yang paling saya jaga saat itu adalah kepercayaan,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, “Berkat dorongan pak Erwin Aksa dan Sadikin, hingga hari ini saya tetap bergelut di bisnis pelayaran, dengan memegang komitmen agar pelayanan yang terbaik”.

Setelah menjadi pengusaha kapal angkutan melalui perusahaan PT Bayumas Jasa Mandiri (BJM) Jakarta, dia mencoba untuk terjun ke politik dengan mencalonkan diri sebagai Bupati Sidrap.

“Yang paling tidak bisa dilupakan, waktu mau maju di pilkada, saya harus minta izin dengan Pak Sadikin dan Erwin Aksa. Takutnya mereka tidak setuju dan akan berpengaruh dengan usaha saya,” katanya.

Ternyata, dukungan kedua tokoh ini telah mendorong karir dirinya menjadi seorang pengusaha sukses hingga menjadi orang nomor satu di Kabupaten Sidrap.

“Saya tidak sangka, seorang buruh dan supir truck seperti saya bisa jadi bupati dalam kurun waktu 10 tahun. Dan itu patut saya syukuri,” ujar Rusdi. (ran/ism)